PARADIGMA SOSIOLOGI DALAM PENDIDIKAN


 BAB III

PARADIGMA SOSIOLOGI DALAM PENDIDIKAN


A.    PENDAHULUAN  

 

Pendidikan tidak hanya dipahami sebagai proses transfer ilmu pengetahuan dari pendidik kepada peserta didik, tetapi juga sebagai fenomena sosial yang kompleks. Dalam konteks ini, sosiologi memberikan kerangka analisis yang luas untuk memahami bagaimana pendidikan berfungsi dalam masyarakat. Sosiologi pendidikan mempelajari hubungan antara lembaga pendidikan dengan struktur sosial, termasuk nilai, norma, dan peran sosial yang berkembang di dalamnya (Ballantine & Hammack, 2015). Melalui pendekatan ini, pendidikan dilihat sebagai sarana pembentukan dan reproduksi budaya serta alat mobilitas sosial.

 

Paradigma sosiologi dalam pendidikan membantu menjelaskan bagaimana sistem pendidikan tidak berdiri sendiri, melainkan berinteraksi dengan faktor-faktor sosial seperti kelas, gender, ekonomi, dan kebijakan publik. Misalnya, teori fungsionalisme melihat pendidikan sebagai instrumen untuk menjaga keteraturan sosial dan mengajarkan nilai-nilai yang dibutuhkan masyarakat (Durkheim, 2013). Sebaliknya, paradigma konflik menyoroti bagaimana pendidikan dapat mereproduksi ketimpangan sosial dengan memberikan keuntungan lebih besar kepada kelompok dominan (Bowles & Gintis, 2011). Dengan demikian, paradigma sosiologis membuka ruang kajian kritis terhadap fungsi dan arah pendidikan.

 

Lebih lanjut, paradigma interaksionisme simbolik memberikan perhatian pada interaksi sosial di lingkungan sekolah, khususnya bagaimana makna dan label sosial mempengaruhi identitas dan prestasi siswa (Mead, 2015). Perspektif ini menyoroti peran komunikasi, persepsi, dan simbol dalam membentuk pengalaman belajar. Melalui paradigma ini, guru dan siswa bukan sekadar pelaku pasif, tetapi aktor sosial yang membangun realitas pendidikan melalui interaksi sehari-hari.

 

Dalam konteks masyarakat modern, paradigma sosiologi menjadi sangat penting karena pendidikan kini tidak hanya berorientasi pada hasil akademik, melainkan juga pada pembentukan karakter, nilai-nilai sosial, serta kemampuan beradaptasi dalam lingkungan multikultural. Pemahaman terhadap dimensi sosiologis pendidikan memungkinkan pendidik dan pembuat kebijakan melihat permasalahan pendidikan secara lebih holistik, termasuk isu ketidaksetaraan, marginalisasi, dan akses terhadap pendidikan (Bourdieu, 1991).

 

Oleh karena itu, mempelajari paradigma sosiologi dalam pendidikan menjadi hal mendasar bagi mahasiswa, terutama dalam mata kuliah Karya Tulis Ilmiah. Melalui pemahaman paradigma ini, mahasiswa tidak hanya mampu menulis karya ilmiah yang bersifat deskriptif, tetapi juga analitis dan kritis terhadap realitas sosial pendidikan. Dengan pendekatan sosiologis, karya ilmiah di bidang pendidikan dapat lebih bermakna, berakar pada realitas sosial, dan memberikan kontribusi nyata bagi pengembangan kebijakan serta praktik pendidikan yang lebih adil dan inklusif.

 

B.    PENGERTIAN PARADIGMA DAN PARADIGMA SOSIOLOGI

 

Secara etimologis, istilah paradigma berasal dari bahasa Yunani paradeigma yang berarti pola, model, atau contoh. Dalam konteks ilmiah, paradigma dipahami sebagai kerangka berpikir yang menjadi landasan dalam memahami, menafsirkan, dan meneliti suatu fenomena. Menurut Kuhn (1970), paradigma merupakan seperangkat keyakinan, nilai, teknik, dan contoh ilmiah yang diakui bersama oleh suatu komunitas ilmiah. Paradigma memberikan arah dan batas bagi aktivitas ilmiah, menentukan apa yang dipelajari, pertanyaan apa yang diajukan, serta metode apa yang digunakan dalam memperoleh pengetahuan. Oleh karena itu, paradigma berperan penting dalam membentuk cara pandang ilmuwan terhadap realitas sosial dan pendidikan.

 

Dalam bidang ilmu sosial, paradigma tidak hanya menjadi pedoman metodologis, tetapi juga ideologis, karena ia membawa asumsi dasar tentang hakikat manusia dan masyarakat. Ritzer (2011) menjelaskan bahwa paradigma sosiologi merupakan seperangkat asumsi teoritis yang mengarahkan bagaimana sosiolog memahami hubungan antara individu dan struktur sosial. Paradigma ini membentuk cara peneliti melihat realitas sosial — apakah sebagai hasil struktur makro yang memengaruhi individu, atau sebagai hasil interaksi sosial yang terus berkembang. Dengan demikian, paradigma sosiologi bukan sekadar teori, melainkan lensa konseptual yang membentuk perspektif dalam memahami dinamika sosial.

 

Paradigma sosiologi dalam pendidikan muncul dari pandangan bahwa pendidikan adalah fenomena sosial yang tidak dapat dilepaskan dari konteks masyarakat. Menurut Ballantine dan Hammack (2015), paradigma sosiologis memandang pendidikan sebagai lembaga sosial yang berperan dalam sosialisasi nilai, reproduksi budaya, serta distribusi kesempatan sosial. Dalam paradigma ini, sekolah tidak hanya berfungsi sebagai tempat belajar akademik, tetapi juga sebagai arena di mana nilai, kekuasaan, dan identitas sosial dikonstruksi. Oleh sebab itu, analisis sosiologis terhadap pendidikan membantu mengungkap bagaimana praktik pendidikan dapat memperkuat atau menantang struktur sosial yang ada.

 

Lebih jauh, paradigma sosiologi mengandung berbagai pendekatan yang berbeda, seperti fungsionalisme, konflik, dan interaksionisme simbolik. Masing-masing paradigma menawarkan cara pandang yang khas terhadap peran pendidikan dalam masyarakat. Fungsionalisme melihat pendidikan sebagai mekanisme integrasi sosial; teori konflik menyoroti reproduksi ketimpangan sosial melalui sistem pendidikan; sedangkan interaksionisme simbolik memusatkan perhatian pada makna subjektif yang terbentuk dalam interaksi di lingkungan pendidikan (Collins, 2009). Melalui perbedaan tersebut, paradigma sosiologi memberi kekayaan analisis dalam memahami peran dan fungsi pendidikan secara menyeluruh.

Selain itu, paradigma sosiologi memberikan kontribusi penting dalam mengkaji bagaimana kebijakan pendidikan terbentuk dan diimplementasikan. Menurut Apple (2019), kebijakan pendidikan sering kali mencerminkan ideologi sosial dan politik yang dominan dalam masyarakat. Paradigma sosiologis membantu mengungkap relasi kekuasaan di balik kebijakan tersebut serta dampaknya terhadap akses dan kualitas pendidikan. Dengan demikian, pemahaman terhadap paradigma ini menjadi alat kritis bagi mahasiswa dan peneliti untuk menilai keadilan sosial dalam sistem pendidikan.

 

Dalam konteks penelitian ilmiah, paradigma juga menentukan pendekatan yang digunakan peneliti dalam memandang data dan realitas. Misalnya, paradigma positivistik cenderung menggunakan metode kuantitatif dengan penekanan pada objektivitas, sedangkan paradigma konstruktivistik atau interpretatif lebih menekankan pemahaman makna subjektif melalui pendekatan kualitatif (Creswell, 2014). Dalam studi pendidikan, kedua pendekatan ini dapat digunakan secara komplementer untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif terhadap fenomena sosial di dunia pendidikan.

 

Lebih dalam lagi, paradigma sosiologi membantu mahasiswa memahami keterkaitan antara teori dan praktik dalam penulisan karya ilmiah. Seorang penulis ilmiah tidak hanya mendeskripsikan fakta sosial, tetapi juga menafsirkan makna di baliknya sesuai dengan paradigma yang diyakini. Misalnya, tulisan yang berlandaskan paradigma konflik akan menyoroti ketimpangan sosial dalam pendidikan, sementara paradigma fungsionalis akan menekankan stabilitas dan harmoni sosial. Dengan demikian, paradigma menjadi dasar dalam menentukan arah argumentasi dan analisis dalam sebuah karya ilmiah.

 

Dengan memahami konsep paradigma dan paradigma sosiologi, mahasiswa dapat memiliki dasar berpikir ilmiah yang kuat dalam menulis karya ilmiah di bidang pendidikan. Kesadaran akan paradigma membantu penulis memahami posisi epistemologis dan metodologis dari penelitian yang dilakukan. Paradigma bukan hanya teori di atas kertas, tetapi panduan berpikir dalam merumuskan masalah, memilih pendekatan, dan menafsirkan hasil penelitian. Oleh karena itu, pemahaman terhadap paradigma sosiologi menjadi kunci penting dalam membangun karya tulis ilmiah yang kritis, kontekstual, dan bermakna bagi pengembangan pendidikan.

 

C.    PARADIGMA FAKTA SOSIAL (ÉMILE DURKHEIM)

 

Paradigma fakta sosial merupakan salah satu pendekatan paling awal dan berpengaruh dalam sosiologi yang diperkenalkan oleh Émile Durkheim. Durkheim (1982) mendefinisikan fakta sosial sebagai cara bertindak, berpikir, dan merasa yang berada di luar individu, namun memiliki kekuatan memaksa terhadapnya. Fakta sosial bersifat eksternal dan umum bagi seluruh anggota masyarakat, serta memiliki kekuatan normatif yang membentuk perilaku individu. Dalam konteks pendidikan, fakta sosial terlihat pada nilai, norma, dan aturan sekolah yang mengarahkan perilaku siswa dan guru. Pendidikan, bagi Durkheim, merupakan sarana utama untuk mentransmisikan nilai-nilai sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Menurut paradigma fakta sosial, pendidikan memiliki fungsi integratif dalam menjaga keteraturan dan solidaritas sosial. Durkheim (1956) menegaskan bahwa tujuan pendidikan bukan hanya untuk menyalurkan pengetahuan, tetapi juga menanamkan disiplin moral dan rasa kebersamaan. Melalui proses pendidikan, individu dilatih untuk menyesuaikan diri dengan norma sosial dan menghargai kepentingan kolektif di atas kepentingan pribadi. Dengan demikian, sekolah berfungsi sebagai agen sosialisasi yang memperkuat ikatan sosial dan menumbuhkan kesadaran moral bersama. Perspektif ini menempatkan pendidikan sebagai pilar penting dalam menciptakan masyarakat yang stabil dan harmonis.

 

Dalam praktiknya, paradigma fakta sosial menekankan bahwa perilaku sosial di lingkungan pendidikan harus dipahami secara objektif. Artinya, peneliti atau pendidik harus mengamati fenomena pendidikan sebagaimana adanya, tanpa dipengaruhi oleh nilai atau pandangan subjektif. Durkheim (1982) menolak pendekatan introspektif dan menekankan pentingnya metode ilmiah dalam mempelajari gejala sosial, termasuk pendidikan. Oleh karena itu, penelitian pendidikan yang berlandaskan paradigma ini cenderung menggunakan pendekatan kuantitatif untuk menemukan pola dan hubungan sosial yang bersifat umum dan terukur. Fakta sosial dianggap dapat diamati, diukur, dan dijelaskan melalui hukum-hukum sosial sebagaimana hukum alam dalam ilmu eksakta.

 

Paradigma fakta sosial Durkheim juga memiliki implikasi penting terhadap pembentukan karakter dan moral peserta didik. Pendidikan tidak hanya berorientasi pada kecerdasan intelektual, tetapi juga pembentukan moralitas sosial yang mencerminkan nilai-nilai kolektif masyarakat. Durkheim (1956) menekankan bahwa moralitas sosial merupakan hasil internalisasi norma melalui proses pendidikan formal maupun informal. Oleh karena itu, dalam konteks karya tulis ilmiah, paradigma ini mengajarkan mahasiswa untuk melihat pendidikan sebagai sistem sosial yang objektif, terstruktur, dan berperan dalam menjaga keteraturan masyarakat. Dengan memahami paradigma fakta sosial, penulis ilmiah dapat menempatkan pendidikan sebagai instrumen utama dalam membangun moralitas dan solidaritas sosial.

 

D.    PARADIGMA IDENTITAS SOSIAL

 

Paradigma identitas sosial berakar pada teori identitas sosial yang dikembangkan oleh Henri Tajfel dan John Turner pada tahun 1970-an. Paradigma ini menekankan bahwa identitas individu tidak hanya terbentuk dari faktor personal, tetapi juga dari keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu (Tajfel & Turner, 1986). Menurut pendekatan ini, individu mendefinisikan dirinya melalui kategori sosial seperti etnisitas, agama, kelas sosial, gender, dan profesi. Dalam konteks pendidikan, paradigma identitas sosial membantu memahami bagaimana interaksi sosial di sekolah membentuk identitas siswa, baik secara akademik maupun sosial. Sekolah, sebagai lingkungan sosial, menjadi arena penting di mana proses pembentukan, negosiasi, dan pengakuan identitas berlangsung secara dinamis.

 

 

Dalam paradigma ini, identitas sosial dianggap sebagai konstruksi sosial yang terbentuk melalui interaksi dan komunikasi antarindividu. Mead (2015) menegaskan bahwa “diri” (self) terbentuk melalui proses sosial, di mana individu belajar melihat dirinya dari perspektif orang lain. Dalam dunia pendidikan, hal ini terlihat dalam proses bagaimana siswa menyesuaikan diri dengan harapan guru, teman sebaya, dan norma sekolah. Identitas akademik misalnya, terbentuk melalui pengakuan atas prestasi dan peran yang diberikan oleh lingkungan pendidikan. Dengan demikian, pendidikan berperan sebagai wadah sosialisasi yang memediasi hubungan antara individu dan kelompok sosial, sekaligus sebagai ruang bagi pembentukan identitas diri yang sehat.

 

Paradigma identitas sosial juga menjelaskan fenomena perbedaan dan ketimpangan sosial yang terjadi dalam sistem pendidikan. Beberapa kelompok siswa mungkin mengalami diskriminasi atau stereotip berdasarkan identitas sosial mereka, seperti jenis kelamin, latar belakang ekonomi, atau etnisitas (Jenkins, 2014). Hal ini dapat memengaruhi motivasi belajar, rasa percaya diri, serta partisipasi siswa dalam proses pendidikan. Karena itu, paradigma identitas sosial mengajak pendidik dan peneliti untuk memahami bahwa pembentukan identitas tidak berlangsung secara netral, melainkan dipengaruhi oleh struktur sosial yang lebih luas. Kesadaran ini penting agar pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana pemberdayaan, bukan sebagai alat reproduksi ketidakadilan sosial.

 

Dalam konteks karya tulis ilmiah, paradigma identitas sosial memberikan kerangka teoritis untuk menganalisis isu-isu terkait keberagaman, inklusivitas, dan pengakuan sosial dalam dunia pendidikan. Mahasiswa dapat menggunakan paradigma ini untuk menulis kajian yang kritis terhadap dinamika identitas di sekolah, seperti hubungan antara siswa mayoritas dan minoritas, atau antara siswa berprestasi dan yang terpinggirkan. Dengan demikian, paradigma identitas sosial tidak hanya menjelaskan siapa kita di hadapan orang lain, tetapi juga bagaimana sistem pendidikan berkontribusi dalam membentuk jati diri sosial generasi muda. Melalui pemahaman ini, penulisan ilmiah di bidang pendidikan dapat menjadi sarana refleksi terhadap pentingnya keadilan, penghargaan, dan pengakuan sosial dalam proses pendidikan.

 

E.    PARADIGMA STRUKTUR SOSIAL

 

Paradigma struktur sosial merupakan pendekatan dalam sosiologi yang menekankan bahwa kehidupan sosial dibentuk oleh pola hubungan yang terorganisasi di antara individu dan kelompok. Struktur sosial mencakup sistem peran, norma, nilai, serta hierarki sosial yang mengatur perilaku manusia dalam masyarakat (Giddens, 2009). Dalam konteks pendidikan, paradigma ini memandang sekolah sebagai bagian dari struktur sosial yang berfungsi menjaga stabilitas dan kesinambungan masyarakat. Struktur sosial menentukan bagaimana sumber daya pendidikan dialokasikan, bagaimana peran guru dan siswa diatur, serta bagaimana nilai-nilai sosial direproduksi melalui kurikulum dan praktik pembelajaran.

 

Durkheim (1982) menegaskan bahwa struktur sosial merupakan “fakta sosial” yang memengaruhi perilaku individu tanpa mereka sadari sepenuhnya. Artinya, pendidikan berperan penting dalam membentuk dan mempertahankan tatanan sosial melalui internalisasi nilai dan norma. Misalnya, sistem sekolah dengan jenjang dan kurikulum tertentu mencerminkan pembagian kerja sosial dalam masyarakat. Paradigma ini mengajarkan bahwa pendidikan bukanlah sistem yang netral, tetapi terikat pada struktur kekuasaan, ekonomi, dan budaya yang ada. Oleh karena itu, memahami struktur sosial dalam pendidikan berarti memahami bagaimana pendidikan dapat sekaligus menjadi alat integrasi sosial dan instrumen reproduksi ketimpangan.

 

Menurut Bourdieu (1991), struktur sosial juga beroperasi melalui konsep habitus dan modal sosial, di mana pengalaman individu dibentuk oleh latar belakang sosialnya. Dalam konteks pendidikan, siswa dari kelas sosial tertentu mungkin memiliki keunggulan budaya dan ekonomi yang membuat mereka lebih mudah beradaptasi dengan sistem sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa struktur sosial tidak hanya menentukan akses terhadap pendidikan, tetapi juga peluang keberhasilan di dalamnya. Paradigma struktur sosial dengan demikian membantu peneliti dan pendidik melihat hubungan antara kelas sosial, budaya, dan prestasi akademik secara lebih kritis.

 

Dalam ranah penulisan karya ilmiah, paradigma struktur sosial memberikan kerangka analitis yang kuat untuk memahami hubungan antara sistem pendidikan dan tatanan masyarakat. Mahasiswa dapat menggunakan paradigma ini untuk mengkaji isu ketimpangan pendidikan, distribusi kesempatan belajar, atau hubungan antara kebijakan pendidikan dan mobilitas sosial. Dengan memahami bagaimana struktur sosial membentuk proses pendidikan, penulis ilmiah dapat mengembangkan argumen yang lebih mendalam, kontekstual, dan solutif terhadap permasalahan sosial yang dihadapi dunia pendidikan. Oleh karena itu, paradigma struktur sosial menjadi fondasi penting bagi analisis ilmiah yang berorientasi pada keadilan sosial dan transformasi pendidikan.

 

F.    RANGKUMAN MATERI

 

Paradigma sosiologi dalam pendidikan memberikan kerangka konseptual untuk memahami bahwa pendidikan bukan sekadar proses transfer ilmu, melainkan fenomena sosial yang dipengaruhi oleh struktur, nilai, dan interaksi dalam masyarakat. Pendidikan berperan penting sebagai lembaga sosial yang membentuk kepribadian, moralitas, serta kesadaran kolektif individu. Melalui pendekatan sosiologis, pendidikan dipandang tidak hanya dari aspek akademik, tetapi juga sebagai proses sosialisasi yang mereproduksi dan sekaligus mentransformasikan nilai-nilai sosial di masyarakat.

 

Berbagai paradigma sosiologi memberikan cara pandang yang berbeda terhadap fungsi dan dinamika pendidikan. Paradigma fakta sosial yang dikemukakan Émile Durkheim menekankan pentingnya norma dan nilai sosial dalam menjaga keteraturan melalui pendidikan. Paradigma struktur sosial menyoroti peran sistem sosial dan kelas dalam menentukan akses serta hasil pendidikan. Sementara paradigma identitas sosial menjelaskan bagaimana interaksi sosial di lingkungan sekolah membentuk identitas dan peran sosial siswa. Ketiga paradigma ini saling melengkapi dalam memberikan pemahaman menyeluruh mengenai hubungan antara individu, lembaga pendidikan, dan struktur masyarakat.

 

Dengan memahami beragam paradigma tersebut, mahasiswa dapat mengembangkan karya tulis ilmiah yang lebih kritis, kontekstual, dan reflektif terhadap realitas sosial pendidikan. Pemahaman terhadap paradigma sosiologi membantu mahasiswa menentukan sudut pandang teoritis, merumuskan masalah penelitian, serta menafsirkan fenomena sosial secara ilmiah. Oleh karena itu, penguasaan konsep paradigma sosiologi dalam pendidikan menjadi landasan penting dalam mengembangkan kemampuan analisis ilmiah dan membangun pendidikan yang berkeadilan, inklusif, serta relevan dengan kebutuhan masyarakat.

 

G.   TUGAS DAN EVALUASI


1. Jelaskan dengan contoh konkret bagaimana paradigma fakta sosial menurut Émile Durkheim

    menjelaskan peran pendidikan dalam menjaga keteraturan sosial di masyarakat.

2. Bagaimana paradigma struktur sosial menjelaskan hubungan antara kelas sosial dan kesempatan

    belajar? Berikan contoh nyata yang terjadi dalam sistem pendidikan di Indonesia.

3. Menurut paradigma identitas sosial, bagaimana interaksi sosial di lingkungan sekolah dapat

    memengaruhi pembentukan identitas akademik siswa? Jelaskan dengan argumentasi ilmiah.

4. Bandingkan perbedaan mendasar antara paradigma fakta sosial dan paradigma identitas sosial dalam

    memahami perilaku manusia di lingkungan pendidikan.

5. Berdasarkan pemahaman terhadap ketiga paradigma sosiologi dalam pendidikan, rumuskan gagasan

    atau topik karya tulis ilmiah yang dapat kamu kembangkan. Jelaskan paradigma mana yang akan

    kamu gunakan dan alasannya.

 

H.   DAFTAR PUSTAKA

 

Apple, M. W. (2019). Ideology and curriculum (4th ed.). Routledge.

Ballantine, J. H., & Hammack, F. M. (2015). The sociology of education: A systematic analysis (7th ed.). Routledge.

Bourdieu, P. (1991). Language and symbolic power. Harvard University Press.

Bowles, S., & Gintis, H. (2011). Schooling in capitalist America: Educational reform and the contradictions of economic life. Haymarket Books.

Collins, R. (2009). Conflict sociology: Toward an explanatory science. Academic Press.

Creswell, J. W. (2014). Research design: Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches (4th ed.). SAGE Publications.

Durkheim, É. (1956). Education and sociology. Free Press.

Durkheim, É. (1982). The rules of sociological method (S. Lukes, Ed.; W. D. Halls, Trans.). Free Press.

Durkheim, É. (2013). Education and sociology. Free Press.

Giddens, A. (2009). Sociology (6th ed.). Polity Press.

Jenkins, R. (2014). Social identity (4th ed.). Routledge.

Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific revolutions (2nd ed.). University of Chicago Press.

Mead, G. H. (2015). Mind, self, and society: From the standpoint of a social behaviorist. University of Chicago Press.

Parsons, T. (1951). The social system. Free Press.

Ritzer, G. (2011). Sociological theory (8th ed.). McGraw-Hill.

Tajfel, H., & Turner, J. C. (1986). The social identity theory of intergroup behavior. In S. Worchel & W. G. Austin (Eds.), Psychology of intergroup relations (pp. 7–24). Nelson-Hall.

Thompson, K. (2017). Émile Durkheim. Routledge. 

Turner, J. C. (1999). Social influence. Open University Press.

  

    PROFIL PENULIS


Nama lengkap penulis Ocha Anggraini lahir di Duri pada tanggal 17 Februari 2005. Ia menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 2 Dumai. Saat ini, penulis tengah menempuh pendidikan Strata Satu (S1) pada Program Studi Pendidikan Agama Islam di Institut Agama Islam Tafaqquh Fiddin Dumai. Penulis memiliki semangat belajar yang tinggi dan rasa ingin tahu yang besar terhadap berbagai bidang ilmu. ia meyakini bahwa pendidikan adalah jalan utama membentuk karakter dan peradaban.
Baginya, menulis bukan sekadar menorehkan kata, tetapi menjadi sarana untuk berbagi nilai, gagasan, dan inspirasi bagi sesama.Ia percaya bahwa setiap proses belajar adalah kesempatan untuk memperbaiki diri dan memperluas wawasan.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

KOMUNIKASI ISLAM

Paulo Coelho