PARADIGMA SOSIOLOGI DALAM PENDIDIKAN
BAB III
PARADIGMA
SOSIOLOGI DALAM PENDIDIKAN
A.
PENDAHULUAN
Pendidikan tidak hanya dipahami sebagai proses transfer ilmu
pengetahuan dari pendidik kepada peserta didik, tetapi juga sebagai fenomena
sosial yang kompleks. Dalam konteks ini, sosiologi memberikan kerangka analisis
yang luas untuk memahami bagaimana pendidikan berfungsi dalam masyarakat.
Sosiologi pendidikan mempelajari hubungan antara lembaga pendidikan dengan
struktur sosial, termasuk nilai, norma, dan peran sosial yang berkembang di
dalamnya (Ballantine & Hammack, 2015). Melalui pendekatan ini, pendidikan
dilihat sebagai sarana pembentukan dan reproduksi budaya serta alat mobilitas
sosial.
Paradigma sosiologi dalam pendidikan membantu menjelaskan
bagaimana sistem pendidikan tidak berdiri sendiri, melainkan berinteraksi
dengan faktor-faktor sosial seperti kelas, gender, ekonomi, dan kebijakan
publik. Misalnya, teori fungsionalisme melihat pendidikan sebagai instrumen
untuk menjaga keteraturan sosial dan mengajarkan nilai-nilai yang dibutuhkan
masyarakat (Durkheim, 2013). Sebaliknya, paradigma konflik menyoroti bagaimana
pendidikan dapat mereproduksi ketimpangan sosial dengan memberikan keuntungan
lebih besar kepada kelompok dominan (Bowles & Gintis, 2011). Dengan
demikian, paradigma sosiologis membuka ruang kajian kritis terhadap fungsi dan
arah pendidikan.
Lebih lanjut, paradigma interaksionisme simbolik memberikan
perhatian pada interaksi sosial di lingkungan sekolah, khususnya bagaimana
makna dan label sosial mempengaruhi identitas dan prestasi siswa (Mead, 2015).
Perspektif ini menyoroti peran komunikasi, persepsi, dan simbol dalam membentuk
pengalaman belajar. Melalui paradigma ini, guru dan siswa bukan sekadar pelaku
pasif, tetapi aktor sosial yang membangun realitas pendidikan melalui interaksi
sehari-hari.
Dalam konteks masyarakat modern, paradigma sosiologi menjadi
sangat penting karena pendidikan kini tidak hanya berorientasi pada hasil
akademik, melainkan juga pada pembentukan karakter, nilai-nilai sosial, serta
kemampuan beradaptasi dalam lingkungan multikultural. Pemahaman terhadap
dimensi sosiologis pendidikan memungkinkan pendidik dan pembuat kebijakan
melihat permasalahan pendidikan secara lebih holistik, termasuk isu
ketidaksetaraan, marginalisasi, dan akses terhadap pendidikan (Bourdieu, 1991).
Oleh karena itu, mempelajari paradigma sosiologi dalam
pendidikan menjadi hal mendasar bagi mahasiswa, terutama dalam mata kuliah
Karya Tulis Ilmiah. Melalui pemahaman paradigma ini, mahasiswa tidak hanya
mampu menulis karya ilmiah yang bersifat deskriptif, tetapi juga analitis dan
kritis terhadap realitas sosial pendidikan. Dengan pendekatan sosiologis, karya
ilmiah di bidang pendidikan dapat lebih bermakna, berakar pada realitas sosial,
dan memberikan kontribusi nyata bagi pengembangan kebijakan serta praktik
pendidikan yang lebih adil dan inklusif.
B.
PENGERTIAN PARADIGMA DAN PARADIGMA SOSIOLOGI
Secara etimologis, istilah paradigma berasal dari bahasa
Yunani paradeigma yang berarti pola, model, atau contoh. Dalam konteks ilmiah,
paradigma dipahami sebagai kerangka berpikir yang menjadi landasan dalam
memahami, menafsirkan, dan meneliti suatu fenomena. Menurut Kuhn (1970),
paradigma merupakan seperangkat keyakinan, nilai, teknik, dan contoh ilmiah
yang diakui bersama oleh suatu komunitas ilmiah. Paradigma memberikan arah dan
batas bagi aktivitas ilmiah, menentukan apa yang dipelajari, pertanyaan apa
yang diajukan, serta metode apa yang digunakan dalam memperoleh pengetahuan.
Oleh karena itu, paradigma berperan penting dalam membentuk cara pandang
ilmuwan terhadap realitas sosial dan pendidikan.
Dalam bidang ilmu sosial, paradigma tidak hanya menjadi
pedoman metodologis, tetapi juga ideologis, karena ia membawa asumsi dasar
tentang hakikat manusia dan masyarakat. Ritzer (2011) menjelaskan bahwa
paradigma sosiologi merupakan seperangkat asumsi teoritis yang mengarahkan
bagaimana sosiolog memahami hubungan antara individu dan struktur sosial.
Paradigma ini membentuk cara peneliti melihat realitas sosial — apakah sebagai
hasil struktur makro yang memengaruhi individu, atau sebagai hasil interaksi sosial
yang terus berkembang. Dengan demikian, paradigma sosiologi bukan sekadar
teori, melainkan lensa konseptual yang membentuk perspektif dalam memahami
dinamika sosial.
Paradigma sosiologi dalam pendidikan muncul dari pandangan
bahwa pendidikan adalah fenomena sosial yang tidak dapat dilepaskan dari
konteks masyarakat. Menurut Ballantine dan Hammack (2015), paradigma sosiologis
memandang pendidikan sebagai lembaga sosial yang berperan dalam sosialisasi
nilai, reproduksi budaya, serta distribusi kesempatan sosial. Dalam paradigma
ini, sekolah tidak hanya berfungsi sebagai tempat belajar akademik, tetapi juga
sebagai arena di mana nilai, kekuasaan, dan identitas sosial dikonstruksi. Oleh
sebab itu, analisis sosiologis terhadap pendidikan membantu mengungkap
bagaimana praktik pendidikan dapat memperkuat atau menantang struktur sosial
yang ada.
Lebih jauh, paradigma sosiologi mengandung berbagai
pendekatan yang berbeda, seperti fungsionalisme, konflik, dan interaksionisme
simbolik. Masing-masing paradigma menawarkan cara pandang yang khas terhadap
peran pendidikan dalam masyarakat. Fungsionalisme melihat pendidikan sebagai
mekanisme integrasi sosial; teori konflik menyoroti reproduksi ketimpangan
sosial melalui sistem pendidikan; sedangkan interaksionisme simbolik memusatkan
perhatian pada makna subjektif yang terbentuk dalam interaksi di lingkungan
pendidikan (Collins, 2009). Melalui perbedaan tersebut, paradigma sosiologi
memberi kekayaan analisis dalam memahami peran dan fungsi pendidikan secara
menyeluruh.
Selain itu, paradigma sosiologi memberikan kontribusi penting
dalam mengkaji bagaimana kebijakan pendidikan terbentuk dan diimplementasikan.
Menurut Apple (2019), kebijakan pendidikan sering kali mencerminkan ideologi
sosial dan politik yang dominan dalam masyarakat. Paradigma sosiologis membantu
mengungkap relasi kekuasaan di balik kebijakan tersebut serta dampaknya
terhadap akses dan kualitas pendidikan. Dengan demikian, pemahaman terhadap
paradigma ini menjadi alat kritis bagi mahasiswa dan peneliti untuk menilai
keadilan sosial dalam sistem pendidikan.
Dalam konteks penelitian ilmiah, paradigma juga menentukan
pendekatan yang digunakan peneliti dalam memandang data dan realitas. Misalnya,
paradigma positivistik cenderung menggunakan metode kuantitatif dengan
penekanan pada objektivitas, sedangkan paradigma konstruktivistik atau
interpretatif lebih menekankan pemahaman makna subjektif melalui pendekatan
kualitatif (Creswell, 2014). Dalam studi pendidikan, kedua pendekatan ini dapat
digunakan secara komplementer untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif
terhadap fenomena sosial di dunia pendidikan.
Lebih dalam lagi, paradigma sosiologi membantu mahasiswa
memahami keterkaitan antara teori dan praktik dalam penulisan karya ilmiah.
Seorang penulis ilmiah tidak hanya mendeskripsikan fakta sosial, tetapi juga
menafsirkan makna di baliknya sesuai dengan paradigma yang diyakini. Misalnya,
tulisan yang berlandaskan paradigma konflik akan menyoroti ketimpangan sosial
dalam pendidikan, sementara paradigma fungsionalis akan menekankan stabilitas
dan harmoni sosial. Dengan demikian, paradigma menjadi dasar dalam menentukan
arah argumentasi dan analisis dalam sebuah karya ilmiah.
Dengan memahami konsep paradigma dan paradigma sosiologi,
mahasiswa dapat memiliki dasar berpikir ilmiah yang kuat dalam menulis karya
ilmiah di bidang pendidikan. Kesadaran akan paradigma membantu penulis memahami
posisi epistemologis dan metodologis dari penelitian yang dilakukan. Paradigma
bukan hanya teori di atas kertas, tetapi panduan berpikir dalam merumuskan
masalah, memilih pendekatan, dan menafsirkan hasil penelitian. Oleh karena itu,
pemahaman terhadap paradigma sosiologi menjadi kunci penting dalam membangun
karya tulis ilmiah yang kritis, kontekstual, dan bermakna bagi pengembangan
pendidikan.
C.
PARADIGMA FAKTA SOSIAL (ÉMILE DURKHEIM)
Paradigma fakta sosial merupakan salah satu pendekatan paling
awal dan berpengaruh dalam sosiologi yang diperkenalkan oleh Émile Durkheim.
Durkheim (1982) mendefinisikan fakta sosial sebagai cara bertindak, berpikir,
dan merasa yang berada di luar individu, namun memiliki kekuatan memaksa
terhadapnya. Fakta sosial bersifat eksternal dan umum bagi seluruh anggota
masyarakat, serta memiliki kekuatan normatif yang membentuk perilaku individu.
Dalam konteks pendidikan, fakta sosial terlihat pada nilai, norma, dan aturan
sekolah yang mengarahkan perilaku siswa dan guru. Pendidikan, bagi Durkheim,
merupakan sarana utama untuk mentransmisikan nilai-nilai sosial dari satu
generasi ke generasi berikutnya.
Menurut paradigma fakta sosial, pendidikan memiliki fungsi
integratif dalam menjaga keteraturan dan solidaritas sosial. Durkheim (1956)
menegaskan bahwa tujuan pendidikan bukan hanya untuk menyalurkan pengetahuan,
tetapi juga menanamkan disiplin moral dan rasa kebersamaan. Melalui proses
pendidikan, individu dilatih untuk menyesuaikan diri dengan norma sosial dan
menghargai kepentingan kolektif di atas kepentingan pribadi. Dengan demikian,
sekolah berfungsi sebagai agen sosialisasi yang memperkuat ikatan sosial dan
menumbuhkan kesadaran moral bersama. Perspektif ini menempatkan pendidikan
sebagai pilar penting dalam menciptakan masyarakat yang stabil dan harmonis.
Dalam praktiknya, paradigma fakta sosial menekankan bahwa
perilaku sosial di lingkungan pendidikan harus dipahami secara objektif.
Artinya, peneliti atau pendidik harus mengamati fenomena pendidikan sebagaimana
adanya, tanpa dipengaruhi oleh nilai atau pandangan subjektif. Durkheim (1982)
menolak pendekatan introspektif dan menekankan pentingnya metode ilmiah dalam
mempelajari gejala sosial, termasuk pendidikan. Oleh karena itu, penelitian
pendidikan yang berlandaskan paradigma ini cenderung menggunakan pendekatan
kuantitatif untuk menemukan pola dan hubungan sosial yang bersifat umum dan
terukur. Fakta sosial dianggap dapat diamati, diukur, dan dijelaskan melalui
hukum-hukum sosial sebagaimana hukum alam dalam ilmu eksakta.
Paradigma fakta sosial Durkheim juga memiliki implikasi
penting terhadap pembentukan karakter dan moral peserta didik. Pendidikan tidak
hanya berorientasi pada kecerdasan intelektual, tetapi juga pembentukan
moralitas sosial yang mencerminkan nilai-nilai kolektif masyarakat. Durkheim
(1956) menekankan bahwa moralitas sosial merupakan hasil internalisasi norma
melalui proses pendidikan formal maupun informal. Oleh karena itu, dalam
konteks karya tulis ilmiah, paradigma ini mengajarkan mahasiswa untuk melihat
pendidikan sebagai sistem sosial yang objektif, terstruktur, dan berperan dalam
menjaga keteraturan masyarakat. Dengan memahami paradigma fakta sosial, penulis
ilmiah dapat menempatkan pendidikan sebagai instrumen utama dalam membangun
moralitas dan solidaritas sosial.
D.
PARADIGMA IDENTITAS SOSIAL
Paradigma identitas sosial berakar pada teori identitas
sosial yang dikembangkan oleh Henri Tajfel dan John Turner pada tahun 1970-an.
Paradigma ini menekankan bahwa identitas individu tidak hanya terbentuk dari
faktor personal, tetapi juga dari keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu
(Tajfel & Turner, 1986). Menurut pendekatan ini, individu mendefinisikan
dirinya melalui kategori sosial seperti etnisitas, agama, kelas sosial, gender,
dan profesi. Dalam konteks pendidikan, paradigma identitas sosial membantu
memahami bagaimana interaksi sosial di sekolah membentuk identitas siswa, baik
secara akademik maupun sosial. Sekolah, sebagai lingkungan sosial, menjadi
arena penting di mana proses pembentukan, negosiasi, dan pengakuan identitas
berlangsung secara dinamis.
Dalam paradigma ini, identitas sosial dianggap sebagai
konstruksi sosial yang terbentuk melalui interaksi dan komunikasi
antarindividu. Mead (2015) menegaskan bahwa “diri” (self) terbentuk melalui
proses sosial, di mana individu belajar melihat dirinya dari perspektif orang
lain. Dalam dunia pendidikan, hal ini terlihat dalam proses bagaimana siswa
menyesuaikan diri dengan harapan guru, teman sebaya, dan norma sekolah.
Identitas akademik misalnya, terbentuk melalui pengakuan atas prestasi dan
peran yang diberikan oleh lingkungan pendidikan. Dengan demikian, pendidikan
berperan sebagai wadah sosialisasi yang memediasi hubungan antara individu dan
kelompok sosial, sekaligus sebagai ruang bagi pembentukan identitas diri yang
sehat.
Paradigma identitas sosial juga menjelaskan fenomena
perbedaan dan ketimpangan sosial yang terjadi dalam sistem pendidikan. Beberapa
kelompok siswa mungkin mengalami diskriminasi atau stereotip berdasarkan
identitas sosial mereka, seperti jenis kelamin, latar belakang ekonomi, atau
etnisitas (Jenkins, 2014). Hal ini dapat memengaruhi motivasi belajar, rasa
percaya diri, serta partisipasi siswa dalam proses pendidikan. Karena itu,
paradigma identitas sosial mengajak pendidik dan peneliti untuk memahami bahwa
pembentukan identitas tidak berlangsung secara netral, melainkan dipengaruhi
oleh struktur sosial yang lebih luas. Kesadaran ini penting agar pendidikan
dapat berfungsi sebagai sarana pemberdayaan, bukan sebagai alat reproduksi
ketidakadilan sosial.
Dalam konteks karya tulis ilmiah, paradigma identitas sosial
memberikan kerangka teoritis untuk menganalisis isu-isu terkait keberagaman,
inklusivitas, dan pengakuan sosial dalam dunia pendidikan. Mahasiswa dapat
menggunakan paradigma ini untuk menulis kajian yang kritis terhadap dinamika
identitas di sekolah, seperti hubungan antara siswa mayoritas dan minoritas,
atau antara siswa berprestasi dan yang terpinggirkan. Dengan demikian,
paradigma identitas sosial tidak hanya menjelaskan siapa kita di hadapan orang
lain, tetapi juga bagaimana sistem pendidikan berkontribusi dalam membentuk
jati diri sosial generasi muda. Melalui pemahaman ini, penulisan ilmiah di
bidang pendidikan dapat menjadi sarana refleksi terhadap pentingnya keadilan,
penghargaan, dan pengakuan sosial dalam proses pendidikan.
E.
PARADIGMA STRUKTUR SOSIAL
Paradigma struktur sosial merupakan pendekatan dalam
sosiologi yang menekankan bahwa kehidupan sosial dibentuk oleh pola hubungan
yang terorganisasi di antara individu dan kelompok. Struktur sosial mencakup
sistem peran, norma, nilai, serta hierarki sosial yang mengatur perilaku
manusia dalam masyarakat (Giddens, 2009). Dalam konteks pendidikan, paradigma
ini memandang sekolah sebagai bagian dari struktur sosial yang berfungsi
menjaga stabilitas dan kesinambungan masyarakat. Struktur sosial menentukan bagaimana
sumber daya pendidikan dialokasikan, bagaimana peran guru dan siswa diatur,
serta bagaimana nilai-nilai sosial direproduksi melalui kurikulum dan praktik
pembelajaran.
Durkheim (1982) menegaskan bahwa struktur sosial merupakan
“fakta sosial” yang memengaruhi perilaku individu tanpa mereka sadari
sepenuhnya. Artinya, pendidikan berperan penting dalam membentuk dan
mempertahankan tatanan sosial melalui internalisasi nilai dan norma. Misalnya,
sistem sekolah dengan jenjang dan kurikulum tertentu mencerminkan pembagian
kerja sosial dalam masyarakat. Paradigma ini mengajarkan bahwa pendidikan
bukanlah sistem yang netral, tetapi terikat pada struktur kekuasaan, ekonomi,
dan budaya yang ada. Oleh karena itu, memahami struktur sosial dalam pendidikan
berarti memahami bagaimana pendidikan dapat sekaligus menjadi alat integrasi
sosial dan instrumen reproduksi ketimpangan.
Menurut Bourdieu (1991), struktur sosial juga beroperasi
melalui konsep habitus dan modal sosial, di mana pengalaman individu dibentuk
oleh latar belakang sosialnya. Dalam konteks pendidikan, siswa dari kelas
sosial tertentu mungkin memiliki keunggulan budaya dan ekonomi yang membuat
mereka lebih mudah beradaptasi dengan sistem sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa
struktur sosial tidak hanya menentukan akses terhadap pendidikan, tetapi juga
peluang keberhasilan di dalamnya. Paradigma struktur sosial dengan demikian
membantu peneliti dan pendidik melihat hubungan antara kelas sosial, budaya,
dan prestasi akademik secara lebih kritis.
Dalam ranah penulisan karya ilmiah, paradigma struktur sosial
memberikan kerangka analitis yang kuat untuk memahami hubungan antara sistem
pendidikan dan tatanan masyarakat. Mahasiswa dapat menggunakan paradigma ini
untuk mengkaji isu ketimpangan pendidikan, distribusi kesempatan belajar, atau
hubungan antara kebijakan pendidikan dan mobilitas sosial. Dengan memahami
bagaimana struktur sosial membentuk proses pendidikan, penulis ilmiah dapat
mengembangkan argumen yang lebih mendalam, kontekstual, dan solutif terhadap
permasalahan sosial yang dihadapi dunia pendidikan. Oleh karena itu, paradigma
struktur sosial menjadi fondasi penting bagi analisis ilmiah yang berorientasi
pada keadilan sosial dan transformasi pendidikan.
F.
RANGKUMAN MATERI
Paradigma sosiologi dalam pendidikan memberikan kerangka
konseptual untuk memahami bahwa pendidikan bukan sekadar proses transfer ilmu,
melainkan fenomena sosial yang dipengaruhi oleh struktur, nilai, dan interaksi
dalam masyarakat. Pendidikan berperan penting sebagai lembaga sosial yang
membentuk kepribadian, moralitas, serta kesadaran kolektif individu. Melalui
pendekatan sosiologis, pendidikan dipandang tidak hanya dari aspek akademik,
tetapi juga sebagai proses sosialisasi yang mereproduksi dan sekaligus
mentransformasikan nilai-nilai sosial di masyarakat.
Berbagai paradigma sosiologi memberikan cara pandang yang
berbeda terhadap fungsi dan dinamika pendidikan. Paradigma fakta sosial yang
dikemukakan Émile Durkheim menekankan pentingnya norma dan nilai sosial dalam
menjaga keteraturan melalui pendidikan. Paradigma struktur sosial menyoroti
peran sistem sosial dan kelas dalam menentukan akses serta hasil pendidikan.
Sementara paradigma identitas sosial menjelaskan bagaimana interaksi sosial di
lingkungan sekolah membentuk identitas dan peran sosial siswa. Ketiga paradigma
ini saling melengkapi dalam memberikan pemahaman menyeluruh mengenai hubungan
antara individu, lembaga pendidikan, dan struktur masyarakat.
Dengan memahami beragam paradigma tersebut, mahasiswa dapat
mengembangkan karya tulis ilmiah yang lebih kritis, kontekstual, dan reflektif
terhadap realitas sosial pendidikan. Pemahaman terhadap paradigma sosiologi
membantu mahasiswa menentukan sudut pandang teoritis, merumuskan masalah
penelitian, serta menafsirkan fenomena sosial secara ilmiah. Oleh karena itu,
penguasaan konsep paradigma sosiologi dalam pendidikan menjadi landasan penting
dalam mengembangkan kemampuan analisis ilmiah dan membangun pendidikan yang
berkeadilan, inklusif, serta relevan dengan kebutuhan masyarakat.
G. TUGAS DAN EVALUASI
1. Jelaskan dengan contoh konkret bagaimana paradigma fakta sosial menurut Émile Durkheim
menjelaskan peran pendidikan dalam menjaga keteraturan sosial di masyarakat.
2. Bagaimana paradigma struktur sosial menjelaskan hubungan antara kelas sosial dan kesempatan
belajar? Berikan contoh nyata yang terjadi dalam sistem pendidikan di Indonesia.
3. Menurut paradigma identitas sosial, bagaimana interaksi sosial di lingkungan sekolah dapat
memengaruhi pembentukan identitas akademik siswa? Jelaskan dengan argumentasi ilmiah.
4. Bandingkan perbedaan mendasar antara paradigma fakta sosial dan paradigma identitas sosial dalam
memahami perilaku manusia di lingkungan pendidikan.
5. Berdasarkan pemahaman terhadap ketiga paradigma sosiologi dalam pendidikan, rumuskan gagasan
atau topik karya tulis ilmiah yang dapat kamu kembangkan. Jelaskan paradigma mana yang akan
kamu gunakan dan alasannya.
H.
DAFTAR PUSTAKA
Apple, M. W.
(2019). Ideology and curriculum (4th ed.). Routledge.
Ballantine, J. H., & Hammack, F. M. (2015). The sociology of education: A systematic analysis (7th ed.). Routledge.
Bourdieu, P.
(1991). Language and symbolic power. Harvard University Press.
Bowles, S., & Gintis, H. (2011). Schooling in capitalist America: Educational reform and the contradictions of economic life. Haymarket Books.
Collins, R. (2009). Conflict sociology: Toward an explanatory science. Academic Press.
Creswell, J. W. (2014). Research design: Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches (4th ed.). SAGE Publications.
Durkheim, É. (1956). Education and sociology. Free Press.
Durkheim, É.
(1982). The rules of sociological method (S. Lukes, Ed.; W. D. Halls, Trans.).
Free Press.
Durkheim, É. (2013). Education and sociology. Free Press.
Giddens, A. (2009). Sociology (6th ed.). Polity Press.
Jenkins, R. (2014). Social identity (4th ed.). Routledge.
Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific revolutions (2nd ed.). University of Chicago Press.
Mead, G. H. (2015). Mind, self, and society: From the standpoint of a social behaviorist. University of Chicago Press.
Parsons, T. (1951). The social system. Free Press.
Ritzer, G.
(2011). Sociological theory (8th ed.). McGraw-Hill.
Tajfel, H., & Turner, J. C. (1986). The social identity theory of intergroup behavior. In S. Worchel & W. G. Austin (Eds.), Psychology of intergroup relations (pp. 7–24). Nelson-Hall.
Thompson, K. (2017). Émile Durkheim. Routledge.
Turner, J. C.
(1999). Social influence. Open University Press.
PROFIL PENULIS

Komentar
Posting Komentar